Sehari setelah konferensi pers tentang rencana perubahan kurikulum 2013 pada tanggal 13 November 2012, hampir semua media massa menyebutkan bahwa pendidikan kepramukaan menjadi mata pelajaran wajib sejak Sekolah Dasar. Hal tersebut sebagaimana dikutip Ciputranews dan JogjaTribunnews pada 14 November 2012. Kontan saja hal tersebut menimbulkan reaksi dari kalangan aktivis pendidikan kepramukaan.
Namun ternyata setelah dilakukan sosialisasi dan uji publik, kemudian masyarakat bisa mengunduh rencana perubahan kurikulum 2013 pada laman resmihttp://kurikulum2013.kemdikbud.go.id menjadi jelas bahwa pendidikan kepramukaan masuk dalam ekstra kurikuler wajib sejak SD (slide ke-26). Dengan demikian, posisi pendidikan kepramukaan pada kurikulum 2013 bukan mata pelajaran. Sebenarnya kebijakan ini bukan merupakan hal yang baru, karena dari dulu pendidikan kepramukaan terutama di SD sudah diwajibkan alias menjadi ekstra kurikuler wajib.
Hal mana sebenarnya pewajiban mengikuti pendidikan kepramukaan, dalam konteks ekstra kurikuler, sejatinya sudah melanggar prinsip kesukarelaan yang menjadi metode pendidikan kepramukaan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2010 dan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui perubahan kurikulum 2013 mengharapkan agar pendidikan kepramukaan dapat berperan mengembangkan nilai-nilai positif seperti cinta tanah air, suka menolong, pengabdian, disiplin, dan jujur serta siswa mampu berpartisipasi dalam permasalahan kemasyarakatan. Namun upaya ini akan sia-sia jika tidak disiapkan secara sungguh-sungguh agar pendidikan kepramukaan (yang menjadi ekstra kurikuler wajib) benar-benar menjadi latihan, menjadi wahana pembiasaan sikap dan perilaku anak dan remaja. Pembina harus disiapkan agar tidak terjebak pada rutinitas dan menjadikan pendidikan kepramukaan seperti pelajaran. Melakukan proses pendidikan kepramukaan seperti mengajar di kelas, bukan melakukan latihan perindukan Siaga, latihan pasukan Penggalang, atau pun latihan Ambalan Penegak.
Ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan pendidikan kepramukaan sebagai salah satu kebijakan dalam perubahan kurikulum 2013, maka ia harus ikut memikul beban tanggungjawab dalam menyiapkan pembina yang berkualitas. Pembina yang mampu mengemas latihan kepramukaan atau latihan kepanduan. Bukan Pembina yang melaksanakan pelajaran kepramukaan. Dalam hal ini sudah barang tentu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan koordinasi dengan Kwartir Nasional sebagai organisasi yang menaungi Gugusdepan yang berpangkalan di sekolah.
Jika tidak dilakukan, saya yakin harapan pemerintah terhadap peran pendidikan kepramukaan dalam pengembangan watak dan budi pekerti anak dan remaja di sekolah, hanyalah pepesan kosong. Karena itulah yang terjadi selama ini. Harapan terlampau tinggi pada Gerakan Pramuka, namun dukungan yang kurang dari masyarakat ataupun pemerintah.
Bentuk dukungan tidak sekedar mengalokasikan dalam anggaran pemerintah (APBN/APBD) namun Kwartir Nasional Gerakan Pramuka perlu didukung dalam upaya melakukan revitalisasi dengan mengkoordinasikan pengambilan kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas implementasi latihan kepramukaan atau latihan kepanduan di Gugusdepan yang berpangkalan di sekolah.